Penulis : Al-Ustadz Abu Abdurrahman Mubarak
Kami
akan sebutkan beberapa sifat kemunafikan amali yang telah disebutkan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kemunafikan amali
inilah yang kadang dianggap remeh oleh sebagian kaum muslimin. Padahal
kemunafikan amali sangatlah fatal akibatnya jika terus dilakukan
seseorang. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rajab rahimahullahu:
“Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar, sebagaimana
maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang
terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika
menjelang mati. Demikian juga orang yang terus-menerus di atas
kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya keimanan dan menjadi
munafik tulen.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ؛ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
“Tanda orang munafik ada tiga: Jika bicara berdusta, jika diberi amanah berkhianat, dan jika berjanji menyelisihinya.”
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ
مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلةٌ
مِنْهُنَّ فِيهِ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا:
مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا خَاصَمَ
فَجَرَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ
“Empat perkara, barangsiapa yang ada
pada dirinya keempat perkara tersebut maka ia munafik tulen. Jika ada
padanya satu di antara perangai tersebut berarti ada pada dirinya satu
perangai kemunafikan sampai meninggalkannya: Yaitu seseorang jika bicara
berdusta, jika membuat janji tidak menepatinya, jika berselisih
melampui batas, dan jika melakukan perjanjian mengkhianatinya.”
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa di antara perangai kemunafikan adalah:
1. Berdusta ketika bicara
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Inti kemunafikan yang dibangun di atasnya kemunafikan adalah dusta.”
2. Mengingkari janji
3. Mengkhianati amanah
4. Membatalkan perjanjian secara sepihak
Perjanjian yang dimaksud dalam hadits ini ada dua:
1. Perjanjian dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk senantiasa beribadah kepada-Nya.
2. Perjanjian dengan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ini mencakup banyak perkara.
Oleh
karena itu, seorang mukmin seharusnya senantiasa berusaha memenuhi
perjanjiannya, terlebih lagi perjanjiannya dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى
نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
“Di
antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah. Maka di antara mereka ada yang
gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka
tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab: 23)
Lain halnya dengan
orang-orang kafir dan munafik. Mereka adalah orang-orang yang suka
membatalkan secara sepihak serta tidak menepati perjanjian. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللهِ
مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ
وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“(Yaitu)
orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu
teguh dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk
menghubungkannya serta membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah
orang-orang yang rugi.” (Al-Baqarah: 27)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ عَاهَدْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُونَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لَا يَتَّقُونَ
“(Yaitu)
orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah
itu mereka mengkhianati janjinya setiap kalinya, dan mereka tidak takut
(akibat-akibatnya).” (Al-Anfal: 56)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْهُمْ
مَنْ عَاهَدَ اللهَ لَئِنْ ءَاتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ
وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ. فَلَمَّا ءَاتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ
بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ. فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا
فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللهَ مَا
وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Dan di antara mereka ada
orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah
memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan
bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.” Maka
setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka
kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah
orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan
kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah,
karena mereka telah memungkiri terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala apa
yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu
berdusta. (At-Taubah: 75-77)
Wajib hukumnya memenuhi perjanjian dengan hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala
Ibnu
Rajab rahimahullahu menyatakan: “Mengingkari (mengkhianati) perjanjian
adalah haram dalam semua perjanjian seorang muslim dengan yang lainnya
walaupun dengan seorang kafir mu’ahad. Oleh karena itu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barangsiapa
membunuh kafir mu’ahad tidak akan mencium bau surga padahal wanginya
surga tercium dari jarak 40 tahun perjalanan.” (HR. Al-Bukhari no. 3166)
[Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 744]
Ibnu Rajab Al-Hanbali
rahimahullahu juga menyatakan: “Adapun perjanjian di antara kaum
muslimin maka keharusan untuk memenuhinya lebih kuat lagi, dan
membatalkannya lebih besar dosanya. Yang paling besar adalah membatalkan
perjanjian taat kepada pemimpin muslimin yang (kita) telah berbai’at
kepadanya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ
لَا يُكَلِّمُهُمْ اللهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ: ...وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلًا لَا يُبَايِعُهُ
إِلَّا لِلدُّنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيدُ وَفَى لَهُ...
Tiga
golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di
hari kiamat nanti, tidak akan disucikan, dan mereka akan mendapatkan
azab yang pedih –di antaranya: “Seorang yang membai’at pemimpinnya hanya
karena dunia, jika pemimpinnya memberi apa yang dia mau dia penuhi
perjanjiannya dan jika tidak maka dia pun tidak menepati perjanjiannya.”
(HR. Al-Bukhari no. 2672, Muslim no. 108)
Berhati-hatilah dari berbagai bentuk kemunafikan
Ibnu
Taimiyah rahimahullahu berkata: “Sebagian orang mengira kemunafikan
hanyalah ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja,
tidak ada kemunafikan setelah zaman beliau. Ini adalah prasangka yang
salah. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Kemunafikan pada zaman ini
lebih dahsyat dari kemunafikan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.’ Mereka berkata: ‘Bagaimana (bisa dikatakan demikian)?’
Beliau menjawab: ‘Orang-orang munafik di zaman Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyembunyikan kemunafikan mereka. Adapun sekarang,
mereka (berani) menampakkan kemunafikan mereka’.”
Asy-Syaikh Rabi’
bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Kemunafikan sekarang ini banyak terjadi
pada pergerakan politik, sebagaimana telah dipersaksikan oleh sebagian
mereka. Sebagian mereka menyatakan: ‘Aku tidak pernah tahu ada politikus
yang tidak berdusta.’ Sebagian bahkan menyatakan: ‘Sesungguhnya politik
adalah kemunafikan.’ Sehingga kebanyakan politikus terkena kemunafikan
amali dalam partai-partai politik.”
Beliau juga menyatakan: “Di
antara tanda kemunafikan amali adalah ber-wala’ (berloyalitas) dengan
ahlul bid’ah serta membuat manhaj-manhaj berbahaya dalam rangka melawan
dan meruntuhkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Syarh Ushulus Sunnah)
Penutup
Saudaraku sekalian…
Allah
Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita bersikap keras dan menjauhi
orang-orang munafik serta menjadikannya sebagai musuh. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Wahai Nabi, jihadilah orang-orang kafir dan munafikin serta bersikap keraslah kepada mereka.” (At-Tahrim: 9)
Dalam ayat yang lain:
هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ
“Mereka (orang-orang munafik) adalah musuh maka hati-hatilah dari mereka…” (Al-Munafiqun: 4)
Maka,
sepatutnya seorang muslim menjauhkan diri dari amalan dan sifat-sifat
musuh mereka, serta menjauhkan diri dari semua perkara yang akan
menjatuhkan dirinya ke dalam kemunafikan, seperti politik praktis dan
berbagai jenis kebid’ahan. Nas’alullah al-’afwa wal afiyah.
sumber:
http://asysyariah.com